The Story Behind…
Saya Doni.
24 tahun. Saya dari kampung. Yah, kampung.. Ada diantara kalian yang
tahu dimana letak Sumbawa Besar? Sebagian besar orang mengira kota kecil
itu letaknya di sekitar Nusa Tenggara Timur atau malah di Maluku. In
fact, Sumbawa Besar itu adalah kota kecil di pulau Sumbawa, Nusa
Tenggara Barat. Sekitar enam jam berkendara dari Mataram, Lombok.
Begitulah..
Saya dilahirkan dan dibesarkan disana. Di sebuah kampung di kota kecil.
Masa kecil saya menyenangkan. Tipikal masa kecil anak-anak kampung
seperti Laskar Pelangi atau Si Bolang. Bermain di sawah, mandi di
sungai, akrab dengan kebun dan gunung. Pesawat adalah hal yang langka
bagi kami, anak kampung. Di kota kami ada bandara perintis. Bandar Udara
BrangBiji namanya. Kadang- kadang ada pesawat berbaling-baling seperti
ATR-42 atau Fokker 50 yang mendarat disana dengan frekuensi yang sangat
jarang. Karena itu, setiap kali pesawat jet mengudara di atas kampung
kami, saya dan teman-teman kecil saya berlari mengikuti pesawat itu
sambil berteriak “Pesawat!! Tunggu!! Ikut!”. Jadi cita-cita masa kecil
saya adalah.. Bisa naik pesawat!
Marilah
beranjak ke masa remaja saya. Saya bukan berasal dari keluarga bahagia
dan berkecukupan tapi sejak kecil saya adalah seorang pemimpi. Saya
selalu bermimpi untuk pergi jauh dan melihat dunia. Saya memulai
perantauan saat berumur 15 tahun, sejak bangku SMA. Saya menghabiskan
masa SMA dan kuliah saya di Makassar. Dan saya masih belum pernah naik
pesawat, sampai kelas 2 SMA. Pengalaman itu tak terlupakan. Makassar –
Surabaya, Bouraq Airlines, Boeing 737-200. Maskapai bernuansa hijau
menyajikan sekotak roti, yang disajikan oleh awak kabin yang bertugas.
Saya langsung jatuh cinta pada pekerjaan tersebut. Ada dua alasan. Satu,
karena bekerja “naik pesawat”. Dua, pekerjaan yang sangat elegan,
menurut saya, orang yang baru pertama kali naik pesawat pada saat itu.
Keuangan
keluarga yang tidak memadai membuat saya harus bekerja setelah lulus SMA
untuk membiayai kuliah saya sendiri. Saya bekerja sebagai pramuniaga di
toko retail alat-alat olahraga bernama Planet Sports di Makassar
sebagai pramuniaga. Waktu berjalan, and everything was fine. Hanya saja mimpi itu, mimpi melihat dunia masih bergejolak.
Bermodal
nekat, akhirnya saya menginjakkan kaki di ibukota Jakarta. Saya
menumpang di seorang kerabat jauh dan bekerja serabutan. Menjadi
pramuniaga tambahan di Giordano adalah pilihan saya. Bukan pilihan,
hanya pekerjaan itulah yang bisa saya dapat. Mungkin salah satu dari
kalian pernah saya layani atau mendengar saya berteriak “Silahkan kakak,
lihat-lihat dulu” di Mall Kelapa Gading, Mall Pondok Indah, atau di
Plaza Semanggi. Tenaga saya hanya digunakan pada saat Bazaar atau Sale,
jadi pendapatan saya perbulan hanya sekitar Rp 700.000.
Setelah
luntang-lantung, akhirnya saya mendapat pekerjaan di Hotel Indonesia
Kempinski sebagai Bellman. Berbekal kuliah di bidang perhotelan saya
mendapatkan pekerjaan tersebut. Hidup saya mulai berubah. Bisa dibilang
mulai sedikit layak. Setelah 2 tahun bekerja di Hotel Indonesia
Kempinski, saya pindah ke Mandarin Oriental Hotel Jakarta dan bekerja
disana selama 1,5 tahun.
Dari Pramuniaga menjadi Pramugara…
Ketertarikan saya terhadap pesawat, mimpi melihat dunia dan keeleganan seorang flight attendant
membawa saya untuk mencoba peruntungan di dunia penerbangan. Maskapai
yang menerima pramugara bisa dihitung dengan jari, membuat hal ini
benar-benar tidak mudah. Ditambah lagi dengan mata saya yang mengidap
rabun jauh (minus) yang membuat saya mustahil diterima oleh maskapai
domestik.
Saya pernah mencoba Cathay Pacific (2008),Qatar Airways, Emirates, dan Air Asia. Semua gagal.
Di salah satu interview saya benar-benar kecewa karena pewawancaranya
waktu itu benar-benar demoralized dan saya gugur karena saya mempunyai
sedikit bekas jerawat.
I was like, “I’m here to be a Flight Attendant not a freakin’ model!”
Mungkin Tuhan punya rencana sendiri.
Setelah saya gagal tahun 2008 di Cathay Pacific (bahkan application
saya tidak mendapat invitation untuk interview) saya mencoba kembali
tahun 2011. Setelah proses panjang dan breathtaking saya di terima dan resmi menjadi Indonesian Flight Attendant with Cathay Pacific Airways. Pada saat itu hanya 92 dari kurang lebih 5000 orang applicant yang diterima. I can’t believe myself in.
Ini benar-benar anugrah terbesar dalam hidup saya.
Saya belum pernah keluar negeri sebelumnya. Saya bahkan tidak punya
paspor! Paspor hanya saya buat untuk keperluan pra-syarat interview di
Cathay Pacific. It’s a total breakthrough in my life. Kami
harus pindah ke Hong Kong karena kami akan ditempatkan di kota ini.
Semua fasilitas yang diberikan benar-benar melebihi apa yang saya
bayangkan. Saya tidak bisa berhenti bersyukur.
Sebelum terbang, kami, para new flight attendant harus menjalani masa induction training untuk safety and service
selama kurang lebih 2 bulan. Awal yang berat bagi saya karena saya
sangat merasa rendah diri. Bagaimana tidak, hampir semua teman saya yang
lain adalah lulusan luar negeri, pernah tinggal diluar negeri atau ex-crew
dari Singapore Airlines, Korean Air, Etihad dan Emirates, sedangkan
saya hanya anak kampung yang baru menginjakkan kaki di luar negeri.
Kepercayaan diri saya benar-benar jatuh pada saat itu, tapi seiring
jalannya waktu dan dukungan teman-teman, saya bisa mengatasi masalah
tersebut. Saya mulai percaya kalau diri saya pantas berada disini.
Tugas
terbang pertama saya adalah CX 725, Hong Kong – Kuala Lumpur tanggal 4
September 2011. Saya tidak pernah akan melupakan ketika pertama kali
saya menyambut penumpang, tersenyum dan berkata “Welcome onboard sir. May I show you your seat?”
0 komentar:
Posting Komentar